Wednesday, February 9, 2011

Intertwined

Different colours and textures of threads woven together - that's how I'd describe my family.

Born from an Ambonese father and a Chinese mother, married to a Moslem Javanese man - diversity has simply become a daily reality to me.

In my family you'd find different shades of skin colours - white, black and everything in between.

Different ethnicity and race - Ambonese, Chinese, Javanese, Menadonese, Balinese, you name it.

Different religions - Christian, Catholic, Moslem, Hindu. If you trace our family tree far enough, I wouldn't be surprised if you find Buddhists too.

And that's how I've come to learn a thing or two about tolerance.

Tolerance - is a value we need to demonstrate in our daily actions. When it becomes a slogan, something we merely preach about, it evaporates into thin air.

Tolerance - something I hope Darrel will absorb, given the diverse nature of our family.

Tolerance - a message we ought to pass on to our next generation.

In the hope that a decade from now violence in the name of religion, ethnicity and race will be something unheard of in this country.

After all, like every other important things in life, tolerance starts within the family. Shall we begin?

Thursday, January 27, 2011

What's your word?


Creative Theraphy asked: What's your word or focus for 2011?

I answered:

Free....

To love

To learn

To explore

To make mistakes

To forgive, myself and others

Free....

From angers of the past

From toxic relationship

From the need to control absolutely everything

Free....

To be as I am.

Wednesday, January 19, 2011

Ingin Selesai

Saya baru saja membaca tulisan Riana, salah satu blogger favorit saya, yang tulisannya selalu saya tunggu-tunggu, karena beliau selalu berhasil membuat saya tercengang dan takjub.

Di awal tahun ini, beliau menulis:
Ultimately, saya ingin meninggal di tahun ini. 1432H, atau 2011 M. Ini adalah saat yang tepat untuk saya pergi. Saya merasa tugas saya sudah selesai. Atau mungkin tepatnya, sebagian besar tugas utama saya, sudah selesai. I have passed along all my torches. Saya tidak sedang bersedih apalagi putus asa. Justru sebaliknya, saya sedang berada di puncak rasa syukur. Entahlah, saya tidak dapat menjelaskannya. Namun jika Allah membolehkan saya memilih, sekarang inilah saya ingin menghadapNya. Lagi pula, saya sudah terlalu rindu padaNya, juga pada Ayah dan Mama.

Saya terdiam.
Damn... kalau Allah memanggil saya hari ini atau tahun ini,
sudah pasti saya akan gemetar dan mulai tawar menawar....
"Jangan dulu, Tuhan, Darrel masih kecil,
masih banyak yang ingin saya capai,
dosa saya masih banyak... dan sebagainya.
All of which adds up into one big conclusion:
Saya belum siap, belum selesai dengan semuanya.
Jangankan selesai, separo selesai pun belum.

Sekali-kalinya saya "berani" mengantar nyawa
adalah pada hari Darrel terbaring dengan wajah membiru
dan nafas satu-satu di St. Carolus.
"My life for his, Lord" - sebuah litani yang saya ulangi sepanjang malam,
karena pada saat itu saya sudah tidak mampu lagi mencari kata-kata untuk berdoa.
Sesungguhnya itu pun bukan keberanian,
lebih tepat usaha putus asa saya sebagai manusia untuk tawar menawar dengan nasib.

Allah yang Mahabaik menyembuhkan anak saya,
dan saya masih berdiri di sini sampai hari ini.
Saya tidak tahu kenapa.
Terkadang saya membayangkan mungkin Allah tersenyum geli sambil berkata,
"Nak, bereskan dulu dosa-dosamu sebelum datang kepada-Ku."
Mungkin, saya tidak akan pernah tahu.

Setelah Darrel sehat, saya,
si manusia bodoh yang mudah sekali lupa ini,
kembali lupa akan Sang Khalik.
Lupa beribadah, lupa bersyukur, lupa berbuat baik....

Saya begitu sibuk menikmati hidup saya
yang penuh tawa dan keceriaan seorang anak -
seakan hidup saya tidak punya batas waktu.

Dengan bodohnya saya lupa kalau segala hal,
termasuk hidup saya,
bisa diminta kembali oleh-Nya, kapan saja.

Lupa kalau segala yang saya nikmati saat ini,
hanya mungkin terwujud karena belas kasih-Nya semata.

Membaca tulisan Riana, saya diingatkan,
saya masih jauh dari selesai.

Masih banyak kekurangan yang harus saya bereskan,
dari kekeras-kepalaan saya,
mulut saya yang selalu sejuta kali lebih cepat dari otak saya,
hingga hal-hal yang tersimpan jauh di dalam hati:
amarah, dendam, iri hati, kesombongan....
dan sederet kekurangan lainnya yang sungguh terlalu panjang untuk dituliskan.

Masih banyak dosa yang harus saya bersihkan,
dari dosa-dosa kecil, - yang semua orang juga tahu - sampai dosa besar,
yang cukuplah (dan semoga) hanya Allah dan saya yang tahu.

Sudah saatnya saya mulai berbenah diri.

Karena sungguh, saya ingin mencapai titik
di mana perjalanan kembali kepada-Nya adalah hal indah yang dinanti-nanti.
Bukan sesuatu yang saya hadapi dengan kaki gemetar.

Semoga.